Si Kepala Datar dan Rahasia Rawa

Prolog: Negeri yang Hampir Lupa

Di ujung selatan sebuah negeri tropis, ada hamparan rawa yang luas, tempat air tidak pernah benar-benar pergi. Airnya tidak selalu dalam, tetapi selalu ada: mengisi cekungan tanah, menyelinap di antara akar pohon, dan menyimpan dingin yang lembut bahkan ketika siang sedang panas.

Rawa itu bernama Rawa Sirin, karena orang-orang tua di sekitar sana percaya rawa ini “punya suara sendiri”. Kalau malam sunyi, kamu bisa mendengar rawa berbisik—bukan dengan kata-kata, tapi dengan bunyi air yang pelan, bunyi serangga, dan bunyi daun yang bergerak seperti napas.

Dulu, semua hewan di Rawa Sirin hidup dengan pola yang rapi. Ada yang keluar saat matahari tinggi, ada yang bergerak saat senja, ada yang bekerja saat malam. Mereka tidak saling mengganggu, karena setiap makhluk paham jamnya masing-masing.

Sampai suatu ketika, rawa mulai berubah.

Bukan berubah karena marah, tapi berubah karena terlalu banyak hal yang masuk tanpa izin: suara mesin di kejauhan, bau-bau asing dari air, dan jejak-jejak yang bukan milik penghuni rawa.

Para hewan mulai bicara pelan-pelan. Bukan bicara seperti manusia, tapi bicara seperti hewan yang punya cara sendiri untuk saling mengingatkan: lewat tatapan, lewat gerakan ekor, lewat jejak yang sengaja ditinggalkan.

Dan di antara semua perubahan itu, ada satu nama yang lama sekali tidak disebut.

Nama itu… Kepala Datar.

Bab 1: Ikan Kecil yang Suka Bertanya

Di Rawa Sirin, hiduplah seekor ikan kecil bernama Pip. Pip bukan ikan paling besar, bukan pula ikan paling cepat. Tapi Pip punya satu kelebihan yang bikin dia selalu jadi pusat obrolan: dia paling kepo.

Pip suka bertanya pada apa pun.

Pada akar pohon: “Kenapa kamu bisa berdiri di air terus?”
Pada siput: “Kamu jalan ke mana sih pelan banget?”
Pada capung: “Gimana rasanya punya sayap?”

Kalau ada yang bilang Pip berisik, Pip cuma nyengir. “Lah, kalau nggak nanya, nanti aku nggak tahu,” begitu kira-kira isi pikirannya.

Suatu malam, ketika bulan cuma terlihat separuh, Pip sedang main di dekat permukaan air. Tiba-tiba ia melihat bayangan kecil bergerak di tepi rawa. Bayangan itu tidak seperti burung, tidak seperti luwak, juga tidak seperti musang.

Bayangan itu merayap, berhenti, menunduk, lalu—cepat sekali—menyambar sesuatu dari air.

Pip sampai bengong. “Itu siapa barusan?”

Dia berenang lebih dekat, hati-hati. Tapi bayangan itu sudah hilang. Yang tertinggal hanya lingkaran-lingkaran kecil di air, seperti bekas sentuhan rahasia.

Pip pulang ke koloni ikan dengan mata berbinar. “Tadi aku lihat… sesuatu. Kayak kucing, tapi bukan kucing kampung. Kecil. Cepat. Diam.”

Ikan-ikan lain tertawa. “Kucing di rawa? Kamu kebanyakan ngelamun, Pip.”

Tapi Pip yakin. Rawa tidak membuatnya halu. Rawa selalu jujur.

Bab 2: Burung Hantu Penjaga Jam Malam

Di pohon besar yang tumbuh di tepi rawa, tinggal burung hantu tua bernama Wira. Bulu Wira sudah tidak serapi dulu, tetapi matanya tajam seperti dua lampu kecil yang tidak pernah padam.

Wira adalah penjaga jam malam. Ia tahu kapan serangga mulai ramai, kapan kodok mulai bernyanyi, dan kapan hewan pemangsa keluar tanpa suara.

Ketika Pip—dengan gaya khasnya yang nggak bisa diam—berhasil “menemui” Wira, ia langsung menyembur pertanyaan.

“Om Wira! Aku lihat bayangan aneh! Kayak kucing tapi bukan kucing! Ini beneran nggak sih?”

Wira tidak langsung menjawab. Burung hantu itu menatap rawa lama sekali, seolah membaca sejarah di permukaan air.

“Kamu melihat… pemancing malam,” kata Wira akhirnya.

“Pemancing malam?” Pip makin penasaran.

Wira mengangguk pelan. “Dulu, rawa ini punya penjaga yang sangat jarang terlihat. Mereka berjalan rendah, kepala mereka seperti rata, dan kaki mereka… pandai di air.”

Pip merinding—tapi merinding yang seru, bukan yang takut. “Jadi itu nyata?”

Wira menghela napas. “Nyata. Tapi lama sekali tak ada yang melihat mereka. Banyak yang mengira mereka sudah pergi selamanya.”

Pip melompat kecil di air. “Aku mau lihat lagi! Aku mau buktiin!”

Wira menatap Pip tajam. “Kalau kamu benar ingin tahu, kamu harus belajar satu hal: makhluk yang jarang terlihat tidak suka diburu rasa ingin tahu. Mereka suka dihormati.”

Pip diam sebentar. Itu kalimat berat, tapi Pip menangkap maksudnya.

“Aku bisa hormat,” kata Pip pelan. “Aku cuma pengin tahu.”

Bab 3: Rawa yang Terlalu Ramai

Beberapa hari berikutnya, Pip mulai memperhatikan perubahan yang sebelumnya ia anggap biasa.

Ada plastik yang tersangkut di akar. Ada bau sabun yang terbawa arus. Ada suara kendaraan jauh yang membuat permukaan rawa bergetar halus.

Para kepiting kecil mengeluh karena tanah lembek mereka terganggu. Para katak mengurangi nyanyian malamnya. Bahkan serangga seperti tidak seramai dulu.

Di tengah kondisi itu, kabar tentang “bayangan kucing” menyebar pelan di antara hewan rawa. Ada yang penasaran, ada yang takut, ada yang tidak percaya.

Seekor biawak muda bernama Grom tertawa keras. “Kucing rawa? Ah, paling musang basah.”

Tapi Wira tidak ikut tertawa. Ia tahu, ada sesuatu yang kembali—atau setidaknya mencoba kembali.

Dan di tempat yang paling sunyi, di bawah semak yang menempel ke air, ada sepasang mata kecil yang mengamati Rawa Sirin dengan hati-hati.

Mata itu milik seekor kucing liar kecil bernama Lana.

Lana bukan kucing rumahan. Ia tidak tahu rasanya duduk di kursi atau tidur di bantal. Dunia Lana adalah rawa, lumpur, air dangkal, dan ikan-ikan licin yang harus ditangkap dengan sabar.

Kepalanya agak datar, seolah ia dibuat untuk menunduk dan mengintai. Kakinya punya selaput kecil, membantu dia berjalan lebih mantap di tanah basah.

Namun Lana punya kebiasaan: ia selalu bergerak seperti bayangan. Tidak suka keramaian. Tidak suka ditatap lama-lama.

Karena dulu, keramaian membawa bahaya.

Bab 4: Anak Rawa yang Tidak Seharusnya Ada

Suatu malam, Lana berjalan ke sisi rawa yang paling gelap. Di sana, ia masuk ke semak rapat yang hanya bisa ditembus makhluk kecil dan tenang.

Di dalam semak, ada sesuatu yang membuatnya lembut: seekor anak kucing kecil, masih agak kikuk, bermata bulat, dan bergerak dengan kaki yang belum sepenuhnya yakin.

Anak itu bernama Kito.

Kito lahir saat Lana menemukan sudut rawa yang masih bersih, masih sunyi, dan masih “rahasia”. Lana tidak berniat membuat siapa pun tahu. Dia hanya ingin satu hal: Kito punya kesempatan hidup.

“Kito,” bisik Lana, “ingat ya. Kita keluar kalau malam benar-benar sunyi. Kalau dengar suara keras—kamu diam.”

Kito mengangguk, meski jelas ia masih ingin main.

Kito itu tipikal bocil: kalau ada sesuatu bergerak, dia mau mengejar. Kalau ada kilau di air, dia mau nyolek.

Lana sering harus menahan Kito dengan ekor. “Sabar. Rawa ngajarin sabar.”

Namun satu hal yang Lana belum tahu: bukan hanya Lana yang mengawasi rawa. Ada mata lain yang mengawasi—mata manusia.

Bab 5: Mata Besi yang Tidak Berkedip

Di beberapa titik rawa, tiba-tiba ada benda baru. Bentuknya kecil, menempel di batang pohon, dan diam saja.

Para hewan bingung. “Itu apa?”

Grom si biawak mendekat dan mencoba menjilatnya. Rasanya aneh. Grom mundur.

Wira, dari atas, berkata, “Jangan ganggu. Itu mata besi.”

“Mata besi?” Pip mengulang.

Wira menjelaskan dengan bahasa sederhana: manusia kadang menaruh “mata” yang bisa melihat malam tanpa bergerak. Mata itu tidak menyerang, tidak berlari, hanya merekam siapa yang lewat.

“Kenapa manusia pasang itu?” tanya Pip.

Wira menatap rawa. “Mungkin… karena mereka juga ingin tahu. Tapi semoga cara tahu mereka tidak merusak.”

Pip sempat merasa aneh: kok manusia jadi seperti Pip—penuh pertanyaan. Bedanya, manusia punya alat.

Dan malam itu, Lana—yang tak tahu apa-apa—melintas di depan mata besi. Ia berjalan pelan, menunduk, berhenti sebentar, lalu hilang lagi.

Mata besi menyimpan rahasia itu.

Hari berganti, dan rahasia makin tebal.

Lana muncul lagi. Kito ikut sebentar. Ada momen singkat ketika Kito meloncat kecil mengejar serangga, lalu Lana menariknya balik.

Mata besi menyimpan itu juga.

Bab 6: Kabar yang Menyalakan Harapan

Suatu pagi, hewan-hewan rawa melihat beberapa manusia datang, tapi bukan manusia yang berisik dan membuang barang. Manusia-manusia ini berbeda: mereka berjalan pelan, berbicara pelan, dan membawa buku catatan.

Mereka menunjuk layar kecil. Wajah mereka serius, lalu tiba-tiba—mereka tersenyum.

Wira mengamati dari jauh. Ia mendengar satu kata berulang, meski tidak paham bahasa manusia sepenuhnya.

“Flat-headed… flat-headed…”

Wira menoleh ke Pip. “Kamu tahu nggak itu artinya apa?”

Pip menggeleng.

Wira berbisik, “Itu nama yang lama kita simpan. Kepala Datar.”

Hewan-hewan lain mulai mendekat, tapi tetap sembunyi. Mereka melihat manusia tampak gembira, seolah menemukan sesuatu yang hilang.

Di rawa, berita menyebar seperti gelombang kecil: Kepala Datar kembali.

Dan itu bukan sekadar rumor. Kamera trap di rawa mencatat deteksi berkali-kali selama 2024–2025, total puluhan kali, termasuk momen induk bersama anak—tanda bahwa mereka benar-benar hidup dan berkembang biak.

Yang membuat hewan rawa terdiam bukan cuma fakta “kembali”, tapi fakta “masih bertahan”.

Karena bertahan itu bukan sekadar hidup. Bertahan itu… melawan lupa.

Bab 7: Konflik Kecil—Rawa Hampir Kehilangan Rahasia

Kabar besar seperti ini selalu punya risiko: terlalu banyak yang ingin melihat.

Beberapa hewan rawa jadi heboh. Pip ingin mendekat. Grom ingin pamer, “Tuh kan, aku bilang bukan musang basah.”

Bahkan beberapa burung siang hari mulai mencoba mengintip area semak yang biasanya sunyi.

Wira tidak suka ini. Ia tahu: rahasia yang terlalu terang bisa cepat hilang.

Pada malam ketika bulan sangat terang, Pip nekat berenang lebih dekat ke semak tempat Lana biasa muncul.

Ia tidak berniat jahat. Pip cuma penasaran. Tapi rasa penasaran kadang bisa jadi masalah kalau tidak dijaga.

Pip mendekat, dan—bloop—siripnya menyenggol ranting. Rantingnya bunyi kecil.

Di semak, Lana langsung tegang. Kito yang sedang melangkah keluar berhenti mendadak.

Lana menatap arah air dengan mata tajam. Pip membeku.

“Maaf,” bisik Pip, padahal Lana tidak paham bahasa ikan, tapi paham getaran ketakutan dan rasa bersalah.

Lana tidak menyerang. Ia hanya mengangkat Kito dengan lembut lewat gigitan ringan di tengkuk, lalu mundur cepat masuk semak.

Pip menatap air yang kembali tenang. Dadanya sesak.

Wira muncul di atas, suaranya rendah. “Aku bilang hormat.”

Pip menunduk. “Aku… kebablasan.”

“Kalau kamu benar ingin mereka tetap ada,” kata Wira, “kamu harus belajar: tidak semua hal perlu didekati.”

Pip mengangguk pelan. Itu pelajaran sulit untuk ikan kepo, tapi penting.

Bab 8: Perjanjian Sunyi

Keesokan malamnya, Wira mengumpulkan beberapa penghuni rawa: Pip, beberapa katak tua, beberapa kepiting, dan bahkan Grom si biawak—karena bagaimanapun Grom kuat dan bisa jadi penjaga batas.

“Kita buat perjanjian,” kata Wira.

“Perjanjian apa?” tanya Grom.

“Perjanjian sunyi,” jawab Wira. “Area semak itu bukan tempat bermain. Itu tempat bertahan hidup.”

Katak tua mengangguk. “Kalau mereka hilang, rawa kehilangan penjaga kecilnya.”

Pip mengangkat sirip. “Aku bisa bantu gimana?”

Wira menatap Pip. “Kamu jadi penyampai pesan. Kamu yang paling suka ngomong, jadi kamu yang paling cocok menyebarkan aturan.”

Pip terdiam sebentar, lalu mengangguk. “Oke. Aku akan ngomong… dengan cara yang nggak bikin ribut.”

Mereka sepakat:

  1. Tidak ada hewan yang mendekati semak rahasia saat bulan terlalu terang.
  2. Jalur air di sekitar semak dijaga bersih (sebisa hewan rawa).
  3. Semua hewan mengurangi keributan malam di dekat area itu.

Itu perjanjian sederhana. Tapi kadang yang sederhana justru menyelamatkan.

Bab 9: Lana, Kito, dan Pelajaran Tentang Sabar

Di dalam semak, Lana merawat Kito sambil semakin waspada. Ia merasa rawa mulai ramai, tapi ia juga merasakan sesuatu yang baru: ada bagian rawa yang “menjaga”.

Kito suatu malam bertanya dengan mata polos, “Ibu, kenapa kita nggak main jauh? Di luar seru.”

Lana menatap Kito lama, lalu berkata dengan bahasa kucing yang sederhana, bahasa yang lebih banyak berisi gerak dan rasa.

“Karena dunia itu luas, tapi tidak semua luas itu aman.”

Kito menggoyangkan ekor, tidak puas.

Lana melanjutkan, “Kalau kamu ingin melihat dunia, kamu harus belajar sabar. Sabar itu seperti menunggu ikan mendekat. Kalau kamu melompat duluan, ikan kabur.”

Kito mendengus kecil. Tapi dia mulai belajar.

Pada malam-malam sunyi, Lana mengajak Kito ke pinggir air. Ia mengajari cara menunduk tanpa bunyi. Cara menaruh kaki di lumpur tanpa membuat cipratan. Cara menunggu ikan lewat.

Di saat yang sama, jauh di luar rawa, manusia mulai menyusun rencana: menjaga rawa, memperkuat perlindungan, dan memahami hewan langka yang mereka temukan lagi.

Bab 10: Hari Ketika Rawa Hampir Panik

Suatu malam, ada suara keras dari kejauhan—seperti petir, tapi bukan petir. Hewan rawa panik. Burung-burung terbang. Katak berhenti bernyanyi.

Pip berenang cepat mencari Wira. “Om! Ada apa?”

Wira menajamkan telinga. “Bukan badai. Itu manusia—mungkin kendaraan besar, atau pekerjaan di luar rawa.”

Grom mendesis. “Kalau mereka masuk rawa, berantakan.”

Wira tidak suka kata “berantakan”, tapi ia paham.

Malam itu, Lana menahan Kito lebih dalam. Ia tidak keluar sama sekali.

Di luar, hewan rawa menjaga sunyi, seperti yang mereka janjikan.

Dan setelah beberapa waktu, suara itu menjauh. Rawa pelan-pelan kembali tenang.

Itu konflik kecil—tidak ada yang terluka—tetapi cukup memberi pesan: dunia luar bisa mengubah rawa kapan saja.

Yang bisa dilakukan penghuni rawa adalah menjaga apa yang bisa mereka jaga.

Bab 11: Pesan yang Sampai ke Manusia

Beberapa hari kemudian, para peneliti manusia kembali. Mereka tidak masuk semak, tidak membongkar sarang. Mereka hanya mengamati dan mencatat dari jarak aman.

Di kota terdekat, kabar tentang kucing berkepala datar yang kembali muncul menyebar. Banyak yang terkejut, banyak yang senang.

Media melaporkan bahwa kucing ini terakhir kali tercatat di Thailand sekitar 1995, dan survei kamera trap sejak 2024 menemukan deteksi kembali—termasuk induk dengan anak—yang jadi tanda positif untuk kelangsungan spesies.

Namun beberapa orang juga mengingatkan: ini baru awal. Karena kucing ini hidup di habitat basah yang rentan—rawa dan lahan basah—yang mudah rusak kalau airnya tercemar atau kalau tempatnya dipotong-potong.

Di rawa, Pip tidak membaca berita. Tapi Pip merasakan efeknya: beberapa manusia mulai memasang tanda larangan buang sampah. Beberapa area mulai lebih dijaga. Ada yang mulai membersihkan aliran air.

Pip berbisik pada dirinya sendiri, “Jadi manusia juga bisa belajar.”

Bab 12: Kota Kecil di Dalam Rawa

Musim berganti. Hujan datang dan pergi. Air rawa naik dan turun seperti napas panjang.

Kito tumbuh lebih besar. Langkahnya lebih tenang. Ia sudah tidak terlalu bocil. Ia mulai paham kode ibunya.

Suatu malam, Lana membawa Kito keluar sedikit lebih jauh dari biasanya. Mereka berjalan di tepian air, lalu berhenti.

Di seberang, Pip melihat dari jauh. Ia tidak mendekat. Ia ingat perjanjian sunyi.

Wira juga mengamati dari pohon, bangga karena semua pihak menahan diri.

Lana menatap rawa, lalu menatap Kito. “Ini rumah kita,” kira-kira begitu pesan yang disampaikan lewat tatapan.

Kito menatap air dan tiba-tiba melihat Pip yang berkilau kecil di kejauhan.

Kito ingin mengejar. Namun ia ingat ajaran ibunya: sabar.

Ia hanya duduk, menonton, dan membiarkan malam berjalan seperti seharusnya.

Di situlah rawa terasa seperti kota kecil: semua hidup, semua bergerak, tapi saling memberi ruang.

Epilog: Yang Hilang Bisa Kembali, Kalau Dijaga

Rawa Sirin tidak pernah jadi tempat yang sempurna. Kadang masih ada sampah hanyut. Kadang ada suara jauh yang mengganggu. Kadang air terasa hangat lebih lama.

Tapi satu hal berubah: kini banyak yang tahu rawa ini menyimpan sesuatu yang langka. Sesuatu yang dulu dianggap hilang.

Kepala Datar—yang kecil, yang senyap, yang ahli memancing ikan—kembali bukan untuk jadi tontonan, tapi untuk mengingatkan: alam bisa pulih kalau diberi kesempatan.

Pip tetap kepo, tapi kini kepo yang lebih bijak.

Wira tetap mengawasi malam, menjaga batas-batas sunyi.

Grom tetap sok kuat, tapi diam-diam ia bangga jadi penjaga pinggiran.

Dan Lana—bersama Kito—terus berjalan seperti bayangan di tepi air, hidup dengan satu prinsip yang sederhana:

“Kalau kamu ingin tetap ada, kamu harus cukup sunyi untuk tidak mengundang bahaya… dan cukup kuat untuk bertahan.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Share via
Copy link